Bid’ah
sendiri berarti sesuatu yang dilakukan dan belum ada contohnya pada
masa Rasulullah Saw. Dalam kata lain, Rasulullah dan para sahabat
sekalipun belum pernah melakukannya sebagai amalan keagamaan saat itu.
Maka, ketika ada seseorang yang melakukan amalan baru tanpa ada dasar
al-Quran maupun Hadis Rasulullah itu termasuk bid’ah. Ini sesuai dengan
sabda Rasulullah yang menyatakan bahwa barangsiapa yang melakukan
perbuatan yang tidak sesuai dengan sunnahku maka hal itu tertolak (Hadis
ke-5 dalam Al-Arba’in al-Nawawiyah, hal. 12)
Di
kalangan ulama sendiri, ada beragam pengertian bid’ah yang sebenarnya
mengarah pada satu titik persoalan. Disebutnya sesuatu yang baru adalah
bid’ah. Sebut saja Imam Izzuddin Abdul Salam yang merupakan salah satu
tokoh ulama kalangan syafi’iyah menyatakan bahwa bid’ah adalah
mengerjakan sesuatu yang tidak pernah dikenal atau terjadi pada masa
Rasulullah Saw. Dalam pengertian lain, Imam Yahya bin Syarah An-Nawawi
mengatakan bahwa bid’ah adalah mengerjakan sesuatu yang baru dan belum
ada pada masa Rasulullah Saw. Dan bahkan Imam Muhammad bin Isma’il
al-Shan’ani, seorang ulama syiah zaidiyah yang menjadi idola kaum Wahabi
ini memberikan definisi bahwa bid’ah adalah sesuatu yang dikerjakan
tanpa didahului pengakuan syara’ melalui al-Quran dan Hadis. Dari
beberapa pengertian tersebut memberikan gambaran bahwa mayoritas ulama
sepakat bahwa bid’ah adalah segala sesuatu yang tidak ada pada masa
Rasulullah dan tidak sesuai dengan al-Quran dan Hadis. Sehingga,
parameter yang lazim digunakan dalam mengukur sebuah amalan agama apakah
bid’ah atau tidak adalah dua sumber utama ajaran Islam yaitu al-Quran
dan Hadis (Risalah Ahlussunnah wal Jama’ah, hal. 251).
Dilihat
dari jenisnya, mayoritas ulama membagi bid’ah menjadi dua. Pertama,
bid’ah hasanah yakni hal baru yang tidak menyalahi apa yang terkandung
dalam al-Quran dan Hadis. Jika melakukan bid’ah ini dinilai tidak
melanggar syari’at Islam karena masih sesuai dengan kandungan al-Quran
dan Hadis. Ruang lingkup al-Quran dan Hadis tidak dilanggar dalam
kaitannya melakukan bid’ah hasanah. Maka, hukum melakukannya adalah
boleh-boleh saja. Kedua, bid’ah madzmumah yang merupakan kebalikan dari
jenis yang pertama. Bid’ah ini bertentangan dan menyalahi kandungan
al-Quran dan Hadis. Sesuatu yang bertentangan dengan al-Quran dan Hadis
sudah tentu memberikan konotasi buruk kepada pelakunya. Maka, ketika ada
seseorang yang melakukan bid’ah ini disebut-sebut sebagai pelanggar
syari’at Islam yang dinilai menjadi ahli neraka. Sebab, dia telah
melakukan perbuatan sesat yang tidak sesuai dengan kandungan al-Quran
dan Hadis.
Dengan
acuan di atas, seharusnya kita sudah mampu mengambil sebuah tolok ukur
penilaian terhadap segala sesuatu yang baru ada pada masa belakangan
ini. Era globalisasi yang dibarengi dengan kemajuan teknologi yang
begitu pesatnya memberikan ruang kreatifitas bagi siapa saja. Bahkan
tanpa memandang mana sisi positif dan negatif yang layak dinikmati
khalayak umum. Sebab, hal yang mendasar dalam globalisasi adalah
bagaimana sesuatu yang tercipta itu mampu memberikan dampak besar di
seluruh penjuru dunia. Sesuatu yang bersifat global adalah sesuatu yang
sifatnya mendunia. Maka, siaran global dapat diberikan pengertian
sebagai siaran yang tanpa batas tidak dapat dihindari oleh siapa saja
karena semua dapat melihat dan menikmatinya.
Segala sesuatu dapat menarik jika hal tersebut bersifat
baru. Sesuatu yang baru dan belum pernah dipublikasikan di kalangan umum
adalah satu bentuk kreatifitas yang sangat ditunggu kehadirannya di era
globalisasi. Jika hal tersebut menarik dan laku di pasaran tentu akan
mengundang banyak massa untuk mengikuti dan menggunakannya. Perangkat
elektronik akan banyak pemakainya jika dilengkapi dengan fasilitas dan
kecanggihan yang belum pernah ada. Pakaian dan aksesoris akan dibeli
pelanggan di seluruh dunia bila mampu menampilkan sesuatu yang fresh
buat mereka para penggila dunia mode dan life style. Inilah bentuk kecil
produk globalisasi yang sekarang banyak pemuja dan penggunanya. Tanpa
dipungkiri kita pun juga penikmat kemajuan teknologi era globalisasi
ini.
Dalam pandangan Islam, lifestyle terbagi menjadi dua. Pertama, gaya hidup Islamiyah yang berlandaskan atas al-Quran dan Hadis. Kedua,
gaya hidup jahiliyah yang tidak sesuai dengan al-Quran dan Hadis karena
erat kaitannya dengan perbuatan syirik dan kufur. Maka, sebagai umat
muslim sejati sudah semestinya kita memilih gaya hidup yang sesuai
dengan ajaran al-Quran dan Hadis. Hal ini ada kaitannya dengan bid’ah
yang sejak awal dibahas. Jika seseorang mengutamakan gaya hidup tanpa
mementingkan sisi positif dan negatifnya tentu saja orang tersebut
disinyalir tidak mengikuti tata aturan Islam secara baik. Bid’ah yang
tercela akan selalu menjadi amalannya dengan dalih gaya hidup yang harus
diikuti di era globalisasi ini.
Sebagai
contoh seseorang yang hidup pada abad 21 ini jarang sekali dapat
terlepas dari kehidupan dunia maya yang mampu mengubah jarak begitu jauh
menjadi lebih dekat. Social Media yang tergabung dalam Facebook,
Twitter, WhatsApp, BBM dan sebagainya ini memberikan dampak luar biasa
bagi perkembangan pemikiran dan gaya hidup manusia masa kini. Sehingga,
tak ayal jika mereka lebih mengedepankan sesuatu yang lebih jauh
keberadaannya daripada yang ada di sekitarnya. Dengan berbagai aplikasi
tersebut kegiatan bersosial antara umat manusia sekarang tidak lagi
mengenal jarak, status, usia dan bahkan keyakinan. Sesuatu yang awalnya
baru dan ambigu buat mereka kini menjadi sesuatu yang lumrah dan bisa
mereka nikmati kapan saja. Inilah dampak dari globalisasi yang sudah
tampak sejak saat ini. Belum lagi nanti dan nanti di tahun-tahun
berikutnya.
Sebagai
kesimpulan, dasar dari pemahaman bid’ah harus lebih mengedepankan mana
yang lebih maslahah (baik) dan penuh dengan mafsadah (kerusakan). Itu
semua tentunya dilandasi dengan al-Quran dan Hadis. Bid’ah yang secara
jelas pembagiannya itu tidak boleh dijadikan dalih dengan mempersempit
arti bid’ah yang bermuara pada satu tujuan yaitu meyalahkan segala
amalan yang tidak sesuai dengan pendapatnya. Inilah yang menimbulkan
perbedaan dan berbuntut teror yang berkepanjangan dalam satu kalangan
umat Islam. Maka, seharusnya kita membuka mata kita bersama dalam
menyikapi beberapa hal yang disebut denganpembaruan, apa itu bid’ah,
mengapa ada maulid nabi dan sebagainya. Tanpa mengkerdilkan pemikiran
kita harus melihatnya dari sisi positif yang berdampak langsung bagi
umat manusia umumnya dan umat muslim khususnya.
Selanjutnya,
dapat kita lihat pengguna Social Media (FB, Twitter, WA, BBM) apakah
juga memperingati maulid nabi. Jika dibandingkan antara keduanya tentu
saja terlihat jelas mana yang lebih mendekati ibadah daripada yang lebih
menyia-nyiakan waktu. Memperingati maulid nabi dapat menambah kecintaan
kita kepada Rasulullah Saw. sebagai umat muslim setelah mendengarkan
secara khusyu’ rawi (sejarah) Rasulullah sejak masa hidup hingga
wafatnya. Selain itu, saat peringatan tersebut menjadi ajang
silaturrahmi antara sesama umat muslim karena mereka dapat jumpa dan
berkumpul penuh sukacita. Lain halnya dengan membaca status di Social
Media yang jika tidak ada keperluan yang dirasa penting bukankah lebih
baik kumpul dengan banyak orang memperingati maulid nabi. Sehingga,
dunia yang sudah penuh bid’ah ini harus benar-benar kita sikapi untuk
diambil mana yang lebih layak untuk diikuti dan dilakukan. Jika maulid
nabi itu bid’ah, maka Social Media dan perangkat elektronik canggih masa
kini itu lebih bid’ah. Tinggal bagaimana memilih keduanya, karena tidak
dapat dipungkiri kita semua adalah ahli bid’ah. Sekarang terserah mau
ke arah yang hasanah (baik) atau yang madzmumah (tercela). Wallahu A’lam.
Komentar
Posting Komentar