Oleh: Fattah Alfarhy
Teringat di masa kecil, saat waktu menjelang Magrib. Lima belas menit lagi adzan akan berkumandang. Tampak dari kejauhan anak-anak berbaris dengan rapinya membawa kitab Turutan dalam dekapannya. Mereka berjalan penuh suka cita. Sesampainya di Musholla, mereka bergegas membantu teman-teman lainnya yang sedari tadi gotong royong mengisi bak tempat air wudlu. Tampak sudah cukup untuk dipakai wudlu para jama'ah shalat Magrib dan Isya', mereka pun menghentikan aktifitasnya.
Satu dari mereka segera meraih mikrofon lusuh yang sudah penuh bisikan saat bersuara. Adzan pun berkumandang olehnya. Merdunya suara anak kecil itu. Para jama'ah pun bertanya-tanya, "Anak siapa itu? Alangkah indahnya, lantunan adzan yang dibawakannya." Semua bergegas memenuhi barisan shaf terdepan selepas berwudlu. Sembari menunggu imam, mereka bersama-sama melantunkan lagu-lagu Islami yang penuh makna. Orang menyebutnya sebagai "puji-pujian" yang bermuatan seruan-seruan dan motivasi untuk selalu taat beragama.
"Ilaahii Lastu lil Firdausi Ahlan, Wa laa Aqwaa Alannaaril Jahiimi." Seluruh jama'ah mengikuti alunan pujian itu tanpa ada yang meminta dan memaksa. Semua terlarut dalam suasana penuh khidmat. Seakan-akan suasana itu laksana para peserta upacara yang tengah menyanyikan lagu kebangsaan. Tak satu pun diperkenankan berbuat gaduh di tengah-tengahnya. Suasana makin hening pertanda imam telah memasuki Musholla. Shalat pun dimulai. Para makmum yang terdiri dari lintas generasi mengajarkan betapa indahnya persatuan umat Islam. Tidak melihat siapa yang kecil, siapa yang tua dan muda tampak saling melengkapi. Betapa indahnya, saat melihat barisan shalat berjama'ah begitu rapi menghadap satu arah (kiblat).
****
Shalat Magrib telah selesai. Anak-anak telah duduk berbaris rapi mempersiapkan diri untuk setoran ngaji. Sementara pak imam masih asyik dengan wiridnya. Sebuah pemandangan yang membuat 'adem ayem' bagi sepasang mata yang sempat melihatnya. Benar-benar jiwa yang merdeka. Di usianya yang semakin senja, pak imam telah mewaqafkan dirinya untuk kepentingan syiar agama. Musholla telah menjadi bagian erat yang terpisahkan dari hidupnya. Anak-anak menjadi nafas hidupnya. Seakan-akan dia pun bersiap untuk hembusan nafas terakhir saat bersama mereka.
Dia adalah sang guru kehidupan. Tak sedikit pun dia alpa dalam mengajarkan ilmu agama. Dia pula yang mengajarkan bagaimana cinta negara demi agamanya. Dengan selalu taat beragama menanamkan semangat dalam jiwa untuk bela negara. Walau hanya mengajar "a, i, u" untuk setiap anak yang datang ke Musholla. Dialah pahlawan tanpa tanda jasa dalam memberantas buta huruf al-Qur'an. Sosok yang patut dibanggakan ada padanya. Bagaimana tidak, seluruh anak-anak di kampung tersebut mengaji kepada beliau. Setiap hari selepas shalat Magrib harus mengajari "turutan" sampai dengan para remaja yang sudah mengaji al-Qur'an. Dia tak nampak lelah dari gurat wajahnya. Walaupun sesekali terlihat mengantuk, namun beliau tetap mendengar dan menegur manakala ada kesalahan dari mereka.
Saat malam Kamis tiba, dia mengajarkan bagaimana cara shalat yang benar. Mulai dari cara berwudlu sampai benarnya shalat mulai takbiratul Ihram sampai dengan salam. Subhanallah, dia tetap kuat dan penuh semangat mengalahkan sebagian besar kawula muda yang sesekali malas untuk sekedar shalat Magrib berjama'ah di Musholla. Wajah ini mulai ditampar oleh kenyataan yang luar biasa dari para pejuang al-Qur'an yang sebenarnya.
Mungkin saat ini, banyak orang yang bebangga pandai baca al-Qur'an setelah mendapat ijazah dan sertifikat tanda selesai mengaji. Banyak pula yang tinggi hati setelah selesai al-Qur'an sekali, dua kalo dan seterusnya. Tapi, mereka lupa bahwa dari siapa dulunya mereka bisa pandai sampai saat ini. Menutup mata bahwa seakan-akan tiada peran penting dari seorang guru ngaji di kampung kala itu. Siapa yang kini dianutnya. Guru yang di sana sudah dilupa saat dia telah mencapai gelar sarjana. Guru yang sanggup tiap hari memarahi saat salah mengucap basmallah kini terhapus namanya.
Entah siapa lagi yang mau memperhatikan hidup mereka. Siapa pula yang mau menyempatkan waktunya untuk sekedar bertawajuh (bertatap muka) memohon doa restunya saat Idul Fitri maupun hari biasa. Zaman sudah berubah. Lantas apakah yang telah menjadi kebiasaan baik itu lenyap dari peradaban. Sejauh apapun kita melangkah, tetap tidak dapat melupakan jasa para guru ngaji yang telah membesarkan untuk selalu bersama al-Qur'an. Walau dulu bisa saja adalah seorang anak nakal yang susah mengaji dan minta dimarah-marahi tiap hari. Saat ini patut disadari betapa besarnya jasa guru mengaji yang telah mengalirkan hidupnya untuk sungai perjuangan yang penuh tantangan itu. Kesabaran, tabah dan keikhlasannya dalam menghadapi karakter anak yang berbeda-beda mengajarkan kepada kita untuk selalu bersyukur masih diberi kesempatan bertemu dengan guru ngaji.
Maka, tiada secuil apapun yang sebanding untuk membalas jasa-jasanya. Tidak ada ucapan yang pantas selain kata terima kasih yang benar-benar dari hati. Dan semoga doa akan selalu mengiringi langkah perjuangannya dalam membina ummat dan masyarakat. Benar-benar menjadi amal jariyah yang akan selalu mengalir deras walau telah terbaring kaku di bawah gundukan tanah merah. Namanya akan selalu terucap dalam setiap dzikir dan doa yang terpanjatkan di tengah malam sunyi yang tenang sebagai pelipur rindu yang menghujam kalbu.
Selamat Hari Guru
Sebatik, 25 November 2016
Komentar
Posting Komentar