Oleh: Fattah Alfarhy
Setiap orang berkesempatan sama untuk mendapatkan ilmu. Dia berhak mencari ilmu kapan saja. Di mana saja ada kebaikan, kapan saja ada hikmah patutlah untuk didengar dan dicatat dalam buku. Kewajiban mencari ilmu tidak lantas membiarkan orang belajar tanpa cara terbaik dari gurunya. Seorang pencari ilmu sejati pasti mengenal dan selalu mencoba cara belajar yang efektif baginya.
Membaca dan menulis adalah dua cara terbaik dalam merekam jejak ilmu pengetahuan. Berbagai macam informasi tentang ilmu dan hikmah layak untuk didokumentasi dalam kumpulan catatan. Membaca adalah keniscayaan bagi setiap pencari ilmu. Sementara menulis adalah nyawa yang mengikat bacaan yang telah merasuk ke jiwa. Maka, bacaan adalah asupan akal yang memerlukan gizi sehat dan berarti. Saat membaca, mata akan menjadi bersinar karena tarian huruf-huruf yang menganga bagai api. Saat kalimat demi kalimat terucap dalam hati, maka tangan pun harus bergerak mengikuti langkah pikiran yang berjalan. Di sanalah keindahan ilmu dalam catatan.
Ke mana saja pergi, di mana saja berada dan saat apapun mendera kehidupan kita wajib memiliki catatan. Setiap catatan memuat ilmu. Sebab dia terikat dalam sebuah goresan-goresan indah hasil perpaduan antara tinta dan kertas. Susunan kalimatnya seakan tidak berharga kala dilihat saja. Semua tampak coretan biasa-biasa saja. Namun, segalanya menjadi bermakna saat kita membacanya penuh penghayatan. Ternyata catatan itu adalah tentang hikmah kehidupan. Maka, betapa berharganya jika itu terlewatkan. Walau tertulis dalam kertas lusuh pun, itu akan dicari oleh setiap penikmat ilmu dan literasi.
Mudrajad Kuncoro menyatakan bahwa, "Selain kewajibannya sebagai dosen dan pemateri lainnya, menulis adalah kegiatan rutin yang dilakukan. Melalui media apapun beliau melakukannya. Ada handphone atau laptop di manapun berada pasti menghasilkan sebuah tulisan." Penulis produktif takkan berhenti dan nganggur dalam setiap waktu kosongnya. Hitung-hitung berzikir, itulah satu amalan terbaik penghapus galau dan pengobat kesepian. Maka, di setiap waktu dan tempat hendaknya membawa media yang berguna untuk mengikat ilmu dengan catatan. Karena, bukan cuma kertas dan pena yang bisa mengabadikan ilmu dalam catatan.
Apa yang telah terdengar dan terlihat pasti segera mungkin akan berlalu dari memori manusia. Setiap saat mata dapat melihat sesuatu yang baru. Telinga pun mendengar hikmah dan nasihat dari siapapun saat bertemu. Jika bukan catatan, apa lagi yang bisa mengikat makna tersirat dari semua itu. Kalau pun hafalan itu kuat, suatu saat akan terhapus dengan bertambahnya tumpukan ilmu dan peristiwa baru. Maka, mengingat tidak pernah mengikat dan mencatat dengan cermat akan menjadi tali simpul yang kuat. "Karena unta akan tetap diam jika berada dalam ikatan tali yang kuat, walau ditinggal pergi oleh tuannya," Al Hadis.
Benarlah ungkapan bahwa, "Hafalan akan berlari dan tulisan akan tetap berdiri." Ilmu takkan dibiarkan sia-sia oleh pelajar sejati. Ke manapun dia pergi dan singgah berada akan selalu menjadi sejarah yang tertulis dalam catatan. Setiap jejak langkahnya menjadi tulisan. Peristiwa apapun yang terekam mata dan telinganya menjadi satu catatan yang sayang terlewatkan. "Barangsiapa tak ada pena di sakunya, maka tak ada hikmah di hatinya," ungkap Syekh Az Zarnuji.
Diceritakan bahwa suatu ketika Nabi Muhammad menyampaikan pelajaran kepada para sahabatnya. Tentu saja ilmu dan hikmahlah yang disampaikan saat itu. Seketika sahabat Hilal bin Yasar usul kepada Rasulullah Saw.: "Bagaimana kalau diulang lagi Ya Rasul apa yang telah disampaikan tadi?" Lalu Rasulullah Saw. menjawab: "Apakah engkau membawa botol tinta (mihbarah)?" Hilal menjawab: "Tidak." Maka, Rasulullah Saw. bersabda: "Oh, Hilal. Jangan sampai engkau berpisah dengannya. Karena kebaikan selalu ada di dalamnya dan pada pemiliknya sampai di hari kiamat kelak."
Melihat hadis berikut ini, layak menjadi sebuah pelajaran bahwa mencatat itu lebih penting dari segalanya. Jika mendengar dan melihat bisa saja terjadi suatu saat, maka lupa adalah keniscayaan. Ilmu tidak cukup dihafal dan diingat-ingat saja. Akan menjadi lebih sempurna jika melakukan keduanya demi ilmu. Ingatan itu terbatas, sedangkan catatan itu akan abadi dan tak lekang oleh waktu. Ilmu itu tidak cukup dalam ingatan saja. Suatu waktu catatan itu lebih penting daripada hafalan yang seringkali lupa-lupa. Maka, catatan itu akan tetap berguna walau lupa sudah menjadi bagian erat hidup di usia senja.
"Catatan itu akan abadi, sedangkan ingatan itu secara berkala akan menurun seiring bertambahnya usia."
Komentar
Posting Komentar