- Oleh: Fattah Alfarhy
Siang ini terik panas matahari sangat menyengat kulitku. Aku hampir tak tahan dengan keadaan ini yang menyiksa. Panas dan rasa haus melengkapi penderitaanku. Sementara, pelajaran Matematika belum terlihat tanda-tanda berakhirnya. Pikiranku kian melemah dan serasa tak sanggup lagi menghitung perkalian bilangan kecil sekalipun. Rumus-rumus itu semakim merumitkan pikiran sehatku. Dalam benakku hanya satu, "Kapan pulang, pulang dan pulang?"
Aku sudah tidak tahan. Ku pandangi berkali-kali jam tangan pink mungilku. Jarumnya lama sekali tampak tak bergerak, perasaan ini melayang-layang semakin aneh. Rasanya sudah tidak tahan duduk di tempat ini. "Ya Allah, cobaan ini begitu berat bagiku. Pelajaran Matematika di jam terakhir sekolah."
Tiba juga pukul 14.00, bel tanda pulang sudah berbunyi. Riuh teriakan teman-teman sekelasku mengakhiri kegiatan kelas hari ini. Rasa ceria dan lega tampak dari raut wajah mereka. Panas terik matahari seakan tidak terasa ketika kebersamaan mengalahkan segalanya. Balutan kerudung milikku tidak cukup menghalau sinar matahari yang menyengat kulit wajahku. Untung saja beberapa langkah lagi sampai di asrama.
"Ris, wajahmu tampak gelap sekali hari ini," celetuk Nana tiba-tiba.
Aku pun terbawa terbahak-bahak mendengarnya. Risa yang dikenal oleh teman-temannya suka over make up wajahnya. Tiba-tiba dikatakan begitu tentu saja tersinggung. Ada yang bilang dia itu ratu bedak. Segala peralatan kecantikan dimiliki dalam satu kotak khusus di lemarinya.
"Apa juga kau nih. Sukanya mengolok orang saja. Memangnya wajahmu nggak gelap apa," sanggah Risa.
"Ya nggak lah. Aku khan cantik alami dari sananya. Tanpa make up juga tetap cantik. Wkwkwk."
"Iya iya. Kalian berdua sahabatku yang paling cantik. Udah nggak usah rebutan, nanti cantiknya hilang semua lho," Aku mencoba menengahi pertengkaran mereka berdua.
Usai melewati lapangan olahraga sekolah, asrama semakin tampak dekat. Aku bersama dua sahabatku, Nana dan Risa bergegas menuju ke sana. Kami bertiga berpisah setelah masuk pintu gerbang gedung bersusun seperti rumah sakit. Kamar-kamar berukuran kecil tersusun rapi dari ujung pintu depan sampai ke belakang. Kami bertiga bersahabat di kelas, walaupun tidak tinggal satu kamar.
Akhirnya, sampai juga di kamar tercinta. Bantal pink itu melambai-lambai merindukan kepalaku. Tanpa pikir panjang, langsung saja merebahkan tubuh di atas kasur lipat bersama bantal empuknya. Dengan masih berbalut seragam semua terasa nyaman saat tubuh ini menyatu dalam tidur yang lelap. Lupa semua rasa lelah seharian aku belajar di kelas.
****
"Dorr, dorr, dorr. Panjang ba'-nya kurang. Yang pendek dibaca panjang, yang panjang dibaca pendek. Pernah diajari tajwid nggak sih?" ustadzah Aminah menggetarkan meja tempat mengajiku.
"A, a', a'...," tidak kuasa ku ucapkan apapun.
Sangat kaget dibuatnya. Hingga tak bisa terucap satu huruf pun dari lisan ini. Tiba-tiba menjadi gagap seketika. Usaha berkali-kali tetap saja tidak bisa. Akhirnya, aku mundur dari hadapan beliau daripada membuat teman-teman lainnya lama mengantri. Besok masih ada kesempatan untuk memperbaiki setoran mengaji hari ini.
Aku hanya menundukkan kepala tak kuasa mendengar amarah bernada tinggi seperti itu. Beliau benar-benar memperhatikan setiap huruf yang dibaca muridnya. Bahkan, dalam kesalahan pengucapan juga teliti. Seakan tidak ada bacaan yang terlepas dari kesalahan. Rasanya benar-benar sulit dengan apa yang disebut mengaji kitab suci.
Satu hal yang awalnya ku kira mudah-mudah saja. Mengaji terasa begitu berat untuk dilewati. Setiap hari tidak bisa lepas dari bayang-bayang kesalahan yang begitu rumit. Ada makhraj, hukum bacaan tajwid, sampai pada waqaf dan ibtida'. Semua menjadi kian menyiksa kehidupanku.
Pesan yang selalu ku ingat adalah beliau sempat meragukan kemampuanku dalam ilmu Tajwid. Saat panjang ku baca pendek atau sebaliknya, secara spontan itu membuat beliau tanggap untuk mengingatkanku. Sungguh beliau sangat perhatian dari setiap detil huruf yang terucap oleh santrinya. Walau terkesan sangat keras nadanya, itu semua demi kebaikan santrinya. Tanpa terkecuali aku.
Sesampainya aku di depan pintu kamar, diejeklah oleh beberapa teman. Walau begitu, ejekan itu bukan karena merendahkan melainkan untuk saling memotivasi satu dengan lainnya. Mereka selalu mengejek salah satu dari kami yang tidak mampu mengaji saat setoran di depan ustadzah. Karenanya, kami selalu berlomba-lomba untuk berusaha sekuat mungkin menguasai ayat Al-Qur'an yang mau disetorkan.
"Tuh khan, makanya jangan egois. Belajar suka sendirian, macam nggak ada kawan saja," celetuk salah satu teman mengejek.
"Iya, iya. Aku salah, lain kali ajari ya."
Ustadzah Aminah adalah seorang hafizhah. Beliau hafal Al-Qur'an 30 juz. Makanya, para santri cukup kesulitan dan tidak boleh sembarangan ketika setoran mengaji dengan beliau. Selain sebagai pendamping asrama kami, ustadzah Aminah adalah anak ketiga pengasuh Pesantren Al-Muqorrobin tempat tinggal kami.
Karena masih single, beliau curahkan segala waktu untuk para santri di asrama putri. Mulai dari kegiatan pengajian Al-Qur'an sampai latihan pidato dan sebagainya. Beliau merupakan salah satu pengajar yang multi talenta. Segala ilmu dikuasainya dengan sangat fasih. Utamanya ilmu-ilmu Al-Qur'an yang merupakan hasil dari perkuliahannya selama di Perguruan Tinggi berbasis Al-Qur'an yang terletak di salah satu kota besar di Jakarta. Bahasa Arab juga fasih menjadi bagian dari kehidupannya sehari-hari.
Sudah sepantasnya kami sebagai santri harus rajin-rajin belajar memiliki guru yang serba bisa macam itu. Karena, kalau nanti sudah tiba selesai studiku di sini tidak mungkin lagi menemukan sosok layaknya beliau. Akan ku kontrak perjanjian dengan diri sendiri bahwa mengaji lebih wajib dari segalanya selama di tinggal di sini. Walau sekarang masih kelas XI, aku tidak boleh berleha-leha menyia-nyiakan waktu yang tersisa.
****
"Yu, bangun kau. Ada apa denganmu? Dari tadi ngalindur, mimpi apa emangnya sih?" tanya seorang kawan seraya membangunkan.
"Astaghfirullah," aku pun terbangun dari mimpi yang begitu panjang.
"Rahayu, kau kenapa? Cerita dong kalau ada sesuatu. Udah tidur masih berseragam. Dibangunin susah lagi," tanya Yati penasaran.
"Iya ti, maaf. Aku minta maaf. Rasanya capek sekali hari ini. Udah dari pagi ada pelajaran Olahraga. Ditambah lagi Matematika menutup jam pelajaran terakhir. Hari ini benar-benar ujian berat bagiku. Suasana panas menjadi lengkap dengan mimpi tidur siangku kali ini."
Rahayu mencoba bercerita tentang mimpinya yang dialami. Dia masih ingat betul dengan rangkaian mimpi yang sarat makna itu. Baginya, ini menjadi teguran keras yang tidak boleh diabaikan begitu saja. Dia berjanji pada diri sendiri akan berupaya keras untuk tetap melanjutkan setoran ngajinya kepada ustadzah Aminah. Tak peduli hari-harinya melelahkan apa tidak. Semua demi ridlo guru dan cita-cita yang diimpikan sejak kecilnya.
"Tadi aku mimpi setoran kacau. Dihajar sama ibu. Peringatan keras kalau diriku tidak serius belajar ilmu Tajwid. Tadi kalian juga tampak mengolokku seusai setoran itu gagal. Rasanya benar-benar malu kak. Aku janji tidak akan mengulanginya lagi. Menyesal rasanya tidak sungguh-sungguh sejak dulu. Apa yang nanti oleh-oleh ilmu yang ku bawa pulang jika mengaji Al-Qur'an saja tidak mampu. Orang tuaku sangat berharap selain aku lulus sekolah di sini dengan nilai memuaskan, beliau sangat berharap anaknya khatam Al-Qur'an 30 juz. Karena mereka paham masa kecilku dulu paling pemalas yang namanya ngaji," Rahayu bercerita panjang lebar dengan tanpa disadari air mata membasahi pipinya.
"Sudah sayang, sudah. Masih ada kak Yati yang akan selalu setia membantu adik cantikku. Makanya, mulai besok jangan sampai tidak belajar sebelum setoran mengaji dengan beliau. Nanti aku simak yah sebelum disetorin," Yati mencoba menghentikan tangisan Hayu.
Aku dan Yati bersahabat sudah setahun yang lalu. Dia menjadi tempat paling nyaman untuk curhat-curhatan teman sekamar. Selain dia ketua kamar, juga kakak kelas di sekolah. Yati menjadi kakak bagi seluruh anggota kamarnya, tanpa terkecuali aku yang dikenal paling manja. Hampir setiap hari kami berdua bicara dan cerita soal apapun yang terjadi di sekolah, asrama dan teman-teman kita. Namun, yang tidak bisa kami tinggalkan adalah pembahasan soal pengajian dan pelajaran di sekolah.
Dari sinilah aku menjadi termotivasi untuk selalu belajar dari dia dalam soal apapun. Soal pelajaran apapun, dia jagonya. Ilmu Tajwid pul dia hafal sebagai modal bagi kesehariannya dalam setoran ngaji Al-Qur'an. Selain menjadi santri teladan ustadzah Aminah, dia tidak pernah absen menduduki 3 besar peringkat di kelasnya. Bagiku dia sangar tempat sebagai sahabat sekaligus guruku saat di kamar. Dan aku berjanji kepadanya, jika suatu saat nanti lupa mengaji agar dia memberi sangsi buatku. []
Komentar
Posting Komentar