Oleh: Fattah Alfarhy
Pemandangan terindah ketika pagi adalah sunrise, matahari terbit dari Timur. Ini bisa dilihat setiap hari pada satu jam setelah waktu Subuh. Kalau rumah dekat pantai, pasti lebih seru karena dapat menjumpainya setiap pagi. Terlebih lagi bagi mereka yang bermukim di pulau kecil, akan sangat mudah mendapati keindahan sunrise ini.
Kalau pun kadang menyempatkan diri melihat sunset, justru lebih seru lagi. Itulah sekilas keindahan yang ditampilkan oleh matahari. Tanpa dijadwal, tanpa diminta pun selalu datang tepat waktu dan pergi tepat waktu. Kehadiran dan kepergiannya menandai berakhirnya dua waktu shalat, yakni Subuh dan Asar. Dua shalat ini dikatakan menjadi dua terberat, di antara shalat 5 waktu yang lainnya. Mengapa demikian?
Dalam bahasa Al-Qur'an ([2]: 238) ada ungkapan al-shalat al-wustha. Oleh sebagian mufassir, dimaknai sebagai shalat yang di tengah-tengah waktu di antara shalat-shalat lainnya. Bisa jadi shalat Subuh, toh juga bisa jadi shalat Asar. Kedua shalat tersebut, menurut para ulama, oleh Allah ditekankan untuk menjaganya karena faktor tertentu.
Shalat Asar menjadi alarm kepada manusia untuk menyudahi pekerjaan hariannya, di samping pula sebagai representasi syukur atas segala karunia yang didapatkan selama sehari. Bisa saja, dalam sehari pekerjaan belum juga selesai, sampai mendekati rampungnya waktu Asar. Karena itulah, maka melalui ayat ini Allah mengingatkan untuk menjaga penuh perhatian waktu Asar yang ditandai dengan sunset. Itu menjadi tanda kebesaran Allah untuk mengingatkan manusia segera kembali padanya.
Adapun shalat Subuh perlu diperhatikan, karena pada waktu tersebut menjadi waktu paling enak untuk tidur dan malas segera bangun. Bahkan, dikatakan sebagai shalat terberat bagi orang-orang munafik. Secara lahir beriman, tapi dalamnya malas untuk beribadah. Yang ringan saja enggan, apalagi yang berat? Waktu shalat Subuh juga pendek yang ditandai dengan terbitnya matahari. Betapa indahnya sinar mentari pagi, menjadi pengingat bahwa hidup indah akan selalu terasa setelah terbangun dari sujud menyongsong hangatnya sinar mentari.
Di saat matahari terbit menunjukkan sinar indahnya, sambutan pagi dilengkapi dengan sahutan merdu burung kenari. Lantunan lagu yang serasi tersusun harmonis dari pasukan kenari. Nyanyian mereka terdengar indah, bagai kalimat Syahadat yang senantiasa bertaut saat tasyahud akhir. Ketika seorang manusia telah sampai pada satu rukun terakhir sebelum salam ini, Ia semestinya menjadi sadar dan selalu sadar betapa beratnya iman. Karena, bukan hanya sekedar kata, melainkan sebuah kesaksian harian untuk menjaga kemantapan keislamannya.
Namun, kemerduan nyanyian burung itu tinggalkan kesedihan, ketika sang pendengar hanya mampu mendengar tanpa sanggup meraih dan memilikinya. Seakan, syahadat yang terucap dari lisan-lisan suci itu menjadi harapan kedamaian. Namun, ketika shalat berakhir, kebencian tetap diumbar dengan sepatah dua kata dan seterusnya.
Pasukan kenari semakin banyak saja. Kemerduan nyanyian itu hanya bersifat sesaat. Dan seketika kemudian berganti cacian yang menggema di seluruh penjuru. Seakan tiada guna untuk bersaksi atas segala keindahan tentang matahari, antara terbit dan terbenamnya. Karena, semua telah lebur dan lenyap oleh hasrat sesaat yang bernafas kebencian. Maka, cacian itu tak ubahnya memberikan isyarat betapa lemahnya kekuatan batin menembus ruang doa saat melaksanakan shalat.
Dan entah apalagi yang harus diperbaiki. Sementara pekikan takbir menjadi bunyi menakutkan bagi sebagian kelompok minoritas. Betapa mulianya takbir yang terlontar itu, menjadi isyarat penuh kekerasan. Karena, terbiasa terucap dalam shalat sebagai upaya mengagungkan nama Allah. Namun, situasi lain ketika kata-kata suci itu menjadi pengantar caci di sana dan sini. Semoga mereka mengerti betapa besarnya tanggung jawab seorang anak manusia di hadapan-Nya.
Bukan hanya shalat yang menjadi perkara yang berat, dan justru tanpa shalat segalanya terasa lebih berat. Maka, ikutilah orang-orang yang tegak dengan penuh harap dalam doa, penuh khusyu' dalam dan penuh keadilan dalam keluarga. Seraya berharap kebaikan dan nilai sikap menjadi penting dalam menjaga otoritas lisan yang seringkali salah.
Wates, 04 April 2019
Komentar
Posting Komentar