Oleh: Fattah Alfarhy
"Maaah, ternyata masakanmu kali ini lebih benar daripada standar hidup yang kau kejar saat ini," ucap Papah.
Sebuah pelajaran penuh hikmah dari pernyataan singkat seorang suami kepada istrinya. Pesan tersirat lewat kata-kata yang cukup membuat nyinyir pendengarnya. Tampak jelas apa yang menjadi kebiasaan hidup si istri mendapat perhatian khusus akhir-akhir ini. Suaminya perhatian bukan hanya pada soal kebutuhan dan kecantikan. Lebih jauh dari itu, sikap dan gaya hidup istri menjadi fokus sejak jauh-jauh hari.
Barangkali menjadi pelajaran penting sebelum memiliki anak. Sebuah renungan bahwa anak akan menjadi cerminan orang tua di masa lalunya. Dan atau menjadi cerminan di saat ibu sedang mengalami masa kehamilan. Hati-hati buat calon ibu hamil, karakter anak akan terbentuk sejak mereka masih dalam kandungan. Bimbingan baik untuk diri sendiri secara tidak langsung menjadi pelajaran penting bagi calon buah hati. Akhlaqul Karimah menjadi dambaan semua orang tua bagi anak-anaknya.
Di saat mereka telah menginjak usia remaja sudah sekolah tingkat SMA. Tak terasa begitu cepatnya ayah ibu mengurus sang buah hati. Meskipun kini sering disebut-sebut sebagai sang bebal hati. Semau-maunya keinginan harus dituruti saat itu juga. Seperti mimpi di siang hari, tiba-tiba minta HP android tipe terbaru sepulang sekolah. Ngakunya dewasa, tapi terkadang mendadak kekanak-kanakan seketika. Sontak ayah dengan bijak berkata, "namanya juga anak-anak."
Sambil mengunci pintu rumah, berburu waktu demi anak gadis satu-satunya. Mobil melaju dengan kencang menuju kawasan perbelanjaan. Anak gadis yang manis dan cantik itu mendapat kesempatan memilih HP idamannya. Dan akhirnya dia mendapatkan yang diinginkan. Esok harinya, seluruh teman di sekolahnya mendapat invite dari si Do'i. Dalam sekejap, foto-foto gadis berambut indah itu memenuhi beranda semua teman barunya. Maklum saja, HP baru spek tinggi apalagi kameranya. Wow, segitunya ya andai itu ayahku.
Kebahagiaan seorang anak menjadi prioritas tiap orang tua. Mana ada orang tua yang tak ingin melihat anaknya selalu bahagia. Berbohong sering dilakukan mereka demi melihat anaknya tersenyum senantiasa. Perjuangan mereka tempuh dari masa ke masa untuk anak tercinta. Lantas kebahagiaan apa yang dibutuhkan anak? Apa benar mereka perlu materi untuk saat ini? Jika bahagia adalah HP bagus dan uang saku yang banyak, maka tak ada bedanya anak itu ibaratnya 'wedus' yang sudah tentu senang setelah makan. Mereka tenang jika hari ini bisa makan. Memang kodratnya demikian. Apa begitu saja mengurus anak-anak. Diberi makan, diberi uang saku dan hadiah saat menang lomba. Sudah cukupkah itu?
"Nak, sudah shalat belum?" Apa ada selalu bertanya saat anak pulang sekolah yang jauh nian jarak tempuhnya. Anak butuh perhatian tanpa harus dibedakan mana kesayangan dan mana yang kurang baik akhlaknya. "Mah, walaupun dia itu nakal dan suka bolos sekolah Doni tetap anak kita. Dia butuh belaian kasih sayang dari ayah dan ibu." Sekali lagi mereka berkata, "namanya juga anak-anak." Bukan hanya makan dan minum perlu kita cukupkan buatnya. Lebih jauh dari itu, kita perlu mengajarkan cinta kasih dan cara membaginya. Dia tidak perlu dididik dengan kekerasan, cukup saja dengan nasehat yang mampu menyentuh hati.
Jiwa manusia memiliki sifat fitrah. Kembalikan sifat tersebut dalam posisi semula. Saat terlahir dalam keadaan suci, itulah kodratnya. Masa remaja tengah menggebu menghangatkan darahnya. Sekarang sudah penuh coretan warna-warni kehidupan di masanya. Dia perlu uluran tangan kita. Tetap saja teriakan bukan tamparan keras baginya. Justru menjadi nyanyian merdu di kala menjelang tidurnya. Sudah lama terlihat dia enggan mencium tangan kita. Semoga belum juga lupa dia memilki orang tua. Masih ada waktu untuk bertanya dan menjawabnya dengan bijak dalam sikap.
Meneladani Nabiyullah Ibrahim AS, tak cukup hanya dengan nama yang indah pada anak kita. Pembekalan akhlaq mulia jelas menjadi kewajiban orang tua. Teguh dalam kesabaran, kokoh dalam keyakinan dan istiqomah dalam ibadah menjadi idealisme seorang ayah di masa kini. Ketika anak mengidolakan ayahnya, tidak ada lagi sekat yang menghalanginya. Dia tentu lebih mengerti dan paham siapa yang hendak diikuti jejak hidupnya. Menjadi lain seandainya si anak kehilangan jatidirinya. Entah juga ayahnya ke mana tak lekas nampak batang hidungnya. Di saat anak butuh sosok pemecut semangat dan pelebur kecewa mereka tiada.
Putus asa mencari kepastian. Bahkan akhirnya, dia berlari mencari kebahagiaan dari sosok yang lain. Ayah dan ibu berperan penting dalam membentuk karakter anaknya. Ibrahim dan Siti Hajar menjadi sosok penting dalam masa kecil Nabiyullah Isma'il AS. Hingga tiba waktunya, pengorbanan demi pengorbanan belum jua memastikan ridlo Allah pada mereka. Puncaknya menjadi kisah penuh takjub terukir abadi dalam kalam-Nya. Perintah untuk menyembelih anak kesayangan yang menjadi ujian berat untuk sang ayah. Betapa terpukulnya, sakit terasa. Tetap menjadi semakin sakit bila tak lekas dilakukan.
Memiliki anak yang sholeh menjadi dambaan setiap insan. Taat saat diperintah, penuh kebaikan dan menjadi cindera mata bagi kedua orang tua. Isma'il mengiyakan permintaan ayah atas dasar perintah Allah semata. Serasa tak percaya Isma'il jadi disembelih di tengah lebatnya hutan. Dan akhirnya, domba didatangkan malaikat Jibril sebagai gantinya. Mereka berpelukan erat penuh kasih sayang pertanda mengerti arti perintah Allah saat itu.
Tersirat makna mendalam atas peristiwa masa silam. Sebagai ayah, adakalanya waktu habis penuh kesibukan. Ada baiknya perlu mengorbankan waktu sejenak untuk kontrol perkembangan anak. Bukan hanya memberi makan dan uang biar dia bahagia karena materi saja. Anak pun perlu berkorban menuruti segala perintah sang ayah untuk sebuah perjuangan meraih cita. Masa depan indah yang tak seketika mudah didapat. Bersusah dulu, baru senang kemudian. Ayah dan anak merupakan dua sosok yang ibarat ujung pena selalu butuh batangnya. Mereka harus beriringan dan selaras menempuh masa mengukir sejarah indah kehidupan.
Ingin menjadi ayah ideal, contohlah Nabi Ibrahim. Ingin menjadi anak sholeh, contohlah Nabi Isma'il. Jangan pernah menatap ambisi untuk sebuah kebahagiaan. Karena, pada hakikatnya bahagia bukanlah materi semata. Segala yang tampak oleh mata kita dapat hilang seketika. Lain dengan kelapangan hati yang dapat memberi ruang cinta kasih bagi kehidupan di sekitarnya.
Sebatik, 12 September 2016
Komentar
Posting Komentar