Oleh: Fattah Alfarhy
Membaca dua kata di atas, kesannya mengundang pertanyaan. Dua kata di atas menyisihkan waktu pembaca untuk berpikir. Entah itu berpikir tentang judulnya, atau barangkali keadaan penulisnya. Ada apa dengan cinta? Benarkah si penulis telah menemukan cintanya? Atau yang di atas hanya judul begitu saja.
Tulisan memang mewakili perasaan si penulis biasanya. Namun, pada kondisi sekarang ini tentu saja tidak lantas menulis itu harus karena cinta. Merasakan cinta itu naluri manusia. Tidak setiap orang mampu mengeja rasa cintanya dalam kehidupan yang dijalaninya. Bukan dalam arti sempit cinta terhadap lawan jenis seperti yang anak-anak remaja terjemahkan. Cinta yang ingin dipelajari justru tentang sebuah rasa mendalam dalam jiwa seseorang. Maka, perlu dipelajari dan diaplikasikan dalam hidupnya.
Adakalanya seseorang bicara tentang cinta, saat bertemu idolanya. Siapa kagum dia tentu memujanya. Pujaan hati selalu dinanti. Saat bertemu menghilangkan rasa jemu. Anak muda bilang bertemu kekasih menjadi obat rindu. Benarkah begitu? Setidaknya itulah yang bahasan pertama tentang cinta.
Selanjutnya, ada seseorang yang tekun. Disiplin dan kejujuran menjadi prioritas utamanya dalam melakukan aktifitasnya. Entah dia sebagai pelajar, pekerja, pejabat dan sebagai guru sekalipun. Mereka selalu berupaya untuk setia dalam menjalani segala pekerjaannya. Apakah itu tidak disebut cinta?
Bahkan ada guru yang rela berkorban segalanya demi kemajuan dan kepandaian anak-anak didiknya. Pengorbanan yang dilakukan sang guru tidak butuh lagi nilai dan pujian-pujian. Padahal mereka bukan anaknya sendiri yang bakal menemaninya selama hidupnya. Namun, bagaimana pun mereka semua adalah anak-anak didik yang harus selalu dijaga, dibimbing dan dicintai. Tanpa mencintai, tidak mungkin bisa memberikan ilmu sepenuh hatinya. Oh guru, betapa besarnya cintamu.
Berikutnya, seorang pelajar harus selalu setia dengan waktunya. Menulis, membaca dan mengingat harus selalu digeluti sepanjang harinya. Sehingga, kebiasaan itu tertanam dan menjadi satu kesetiaan terhadap ilmu. Pelajar yang cinta ilmu tidak akan membiarkan waktunya tersia-siakan untuk hal tidak bermanfaat.
Oleh karenanya, dia selalu berupaya menanamkan rasa cinta dalam dirinya untuk segala obyek yang dibaca dan ditulisnya. Mendengarkan nasihat guru dan berdiskusi dengan teman harus menjadi kebiasaan yang tidak boleh terlewatkan. Cinta pelajar itu setia terhadap waktu menulis, membaca dan bersama buku-buku di kelas maupun di luarnya.
Seandainya cinta adalah daun pohon merupakan sumber-sumber penciptanya. Ada akar, batang, cabang, ranting sampai hijau daun menjadi sumber cinta. Daun yang hijau segar menandakan betapa suburnya pohon itu. Cinta itu berasal dari segala sebab yang penuh dengan kedamaian dan pujian. Sesuatu yang baik dan indah selalu terpuji dalam segala suasana.
Adalah kesetiaan untuk menjadi sempurna dalam mencintai. Tentang belajar untuk setia semua berasal dari dalam jiwa raga seorang pencinta. Dia cinta pekerjaan, dia cinta ilmu, dia cinta kekasihnya sekali pun semua dari jiwa raga. Oleh karenanya, cinta tanpa syarat selamanya tetap milik ibunda kepada anaknya.
Namun, cinta guru kepada muridnya menjadi pertanda betapa pedulinya seorang guru akan masa depan anak didiknya. Tanpa penghormatan dan pujian berlebihan dia setia berjuang dan berdoa untuk anak-anak didiknya. Jadi, cinta itu tentang rasa setia selamanya. Tak lekang oleh waktu dan rasa cemburu. Cinta itu setia. Dan setia itu selalu merelakan segala waktu dan melebur rasa cemburu.
Seorang pekerja setia untuk giat bekerja. Guru selalu gigih dan berkorban demi masa depan anak-anak sekolahan. Kekasih selalu setia menyebut nama cintanya. Sedangkan pelajar selalu setia bersama buku-bukunya. Indahnya belajar mencintai, begitulah damainya mendengar kata setia. []
Komentar
Posting Komentar