Oleh: Fattah Alfarhy
Sebagai seorang muslim yang taat tidak sepatutnya meninggalkan shalat barang satu waktu saja. Tidak menjamin bahwa kehidupan masih ditemui esok hari oleh setiap orang. Tanpa disadari hidup yang dijalaninya nge-flat saja tidak ada peningkatan sedikit pun. Tingkat ketaatan muslim mengikuti naik turunnya iman yang tertancap dalam hatinya.
Lagi-lagi Islam dibawa-bawa untuk sesuatu yang tampak kasat mata saja. Jika itu berupa aksi nyata, dan memiliki jama'ah ratusan lebih orang-orang banyak kepincut. Sampai-sampai tiada bedanya mana aksi sungguhan dan ikut-ikutan. Ironisnya jika dalam berbuat di lapangan keluar ujaran kebencian untuk saudara seiman. Hanya gara-gara tidak kumpul dalam satu kesempatan yang sama menjadi obyek dendam sumpah serapah satu oknum yang mengatasnamakan muslim.
Ibadah di dunia ini merupakan satu konsekuensi bagi manusia sebagai makhluk Allah. Manusia telah berjanji kepada Allah akan menjadi Hamba-Nya jauh masa sebelum dilahirkan ke dunia. Namun, pengakuan anak Adam itu tak lantas menjadi pengingat berarti baginya. Sungguh benar adanya jika sekarang sudah tampak banyak sekali manusia yang lalai dan lupa diri sebagai makhluk-Nya. Sehingga, dalam beribadah sehari-hari menawar harga pahala yang akan didapatkannya.
Bukan tidak mungkin hal itu justru menyusahkan mereka sendiri. Selayaknya pedagang, selalu memperhitungkan untung rugi dalam menjalankan ibadah. Akibatnya, ibadah dipilah-pilah yang kiranya mendatangkan pahala paling besar saja. Selain itu, tipe orang kausalis juga mewarnai sifat hamba Allah. Ketika beribadah, orang ini lebih menekankan kepada hasil sebanding dengan jeri payahnya. Katakan, jika dia bersedekah seratus ribu, ia pun menginginkan balasan yang sama dengan apa yang dikeluarkannya. Ia tak ubahnya buruh yang meminta upah sepadan dengan yang telah dikerjakan.
Manusia di dunia harus menyadari bahwa tujuannya diciptakan untuk beribadah. Ia harus menghamba kepada Sang Khaliq bersama jin yang boleh disebut saingan. Tidak heran jika dalam bangsa jin ada yang taat dan juga ada yang tidak. Sama halnya dengan bangsa manusia yang sangat beragam dalam tingkat ketaatannya kepada Tuhan. Itulah sebabnya, Allah tidak butuh apa yang manusia lakukan. Mau ibadah silakan, tidak juga bukan masalah berarti. Akan tetapi, perlu ditegaskan bila Allah yang senantiasa memberi makan lewat rizki yang dihamparkan luas di dunia ini. (Lihat QS. Az Zariyat: 56-58).
Setidaknya dengan berlandaskan Al-Qur'an dan Sabda Rasullah, orang tidak lagi lalai dengan kewajibannya. Ibadah yang menjadi tugas pokok baginya bukan sepatutnya disebut beban. Seperti shalat fardhu yang hanya lima waktu tidak cukup sebanding dengan nikmat yang didapatkan manusia. Rasanya ibadah yang dilakukan sepanjang hidupnya tidak akan mampu membalas sifat Al-Wahhab milik Allah. Segala sesuatu yang manusia dapatkan tidak pernah diminta kembali. Semua hilang dan pergi begitu saja tanpa direnungi.
Dengan mengingat besarnya nikmat yang telah dirasakan tiap insan, sudah seharusnya sadar diri. Tidak perlu sombong bila nikmat takkan bisa dihitung. Karena memang nyatanya demikian, sudah sepatutnya manusia bersyukur atas segalanya. Semua dari Allah tanpa diminta maupun dipaksa. Oleh karenanya, dalam beribadah tidak perlu karena suatu hal.
Beribadah harus menjadi prioritas tanpa mengabaikan rasa takut kepada siksaan nanti di akhirat. Ibadah yang dijalani bukan semata-mata karena rasa takut kepada Allah saja, melainkan jadi sebuah kebutuhan seperti makan minum untuk menyambung kehidupan.
Bisa kebayang bukan, bila sehari-hari kurang makan apa jadinya tubuh nanti dalam sebulan, setahun dan seterusnya. Begitulah seharusnya memaknai ibadah di era kekinian. Segala ibadah yang dilakukan harus disambungkan dengan kehidupan nyata seseorang. Sebagai contoh, shalat harus mampu melahirkan nilai kebaikan di tengah-tengah kehidupan sosial manusia. Tanpanya, hidup terasa tandus tidak memiliki kesehatan rohani yang menyejukkan.
Sehingga, selayaknya menjaga kesehatan tubuh dengan asupan makan minum bergizi, ibadah juga menjadi kebutuhan penting untuk kesehatan jiwa. Alangkah arifnya manusia yang mau berpikir dan melakukan segala yang terbaik untuk kesehatan lahir dan batinnya. Semua berlaku dalam rangka beribadah kepada Allah Yang Maha Kuasa.
Jepara, 02 Oktober 2017
Komentar
Posting Komentar