Oleh: Fattah Alfarhy
Wates, 09 Juli 2019
"Tidak semua yang kau inginkan harus tercapai. Tanpa niat, semua hanyalah angan dan akan terbang bersama waktu yang takkan berulang." Fattah Alfarhy
Setiap orang berhak menggantungkan cita-citanya setinggi mungkin. Ada pepatah mengatakan, "gantungkan cita-citamu setinggi langit" turut menjadi legitimasi hal tersebut. Segala keinginan yang terlintas dari sumber mana pun selalu berhenti dalam pikiran saja. Namun, pada akhirnya hanya menjadi angin yang keluar dari lisan yang terlihat suci. Tanpa disadari, segala bualan itu pun menjadi sebuah kebiasaan mewarnai hari-hari. Karenanya, untuk sebuah keinginan tidak perlu berburu-buru mengatakannya, agar tidak kecewa di kemudian hari.
Ada saja kemauan yang terhalang oleh kepentingan. Sebaliknya, kepentingan pula dapat menjadi sebuah ide awal untuk terciptanya keinginan yang dilandasi kemauan yang begitu kuat. Hanya karena satu tujuan tertentu, keinginan itu menjadi hal yang patut untuk diperjuangkan. Setiap kemungkinan-kemungkinan yang hadir dalam kehidupan menjadikannya sebuah kisi-kisi kemauan yang akan dituruti pada masa selanjutnya.
Kelanjutan dari keinginan tidak cukup dengan perkataan yang telah terang oleh lisan. Keberpihakan akal atas hati yang terkadang berbalik, menjadi pertanda inkonsistensi hati setiap insan. Tidak saja manusia itu pelupa, mereka juga sering ragu dalam menentukan nasibnya. Akibatnya, Ia seringkali terjebak dalam pilihan-pilihan yang sulit ditentukan. Padahal, semuanya merupakan hal-hal yang pernah diinginkannya. Jika hanya ingin, dan tak mungkin untuk terjadi oleh tangannya mengapa mesti dipikirkan dan dijadikan angan-angan?
Agaknya, perlu untuk mengadakan perjanjian ulang dengan diri masing-masing sebelum mengambil itu sebagai sebuah keputusan. Ajaran tentang niat tidak boleh ditinggalkan. Walaupun hanya berupa kebiasaan-kebiasaan positif yang mengakibatkan cita-cita menjadi kuat, niat juga perlu ditegaskan dalam awal pekerjaan. Tidak cukup dituturkan dengan lisan, walau dengan teriakan yang keras. Niat dalam hati justru lebih mulia, daripada yang ditampakkan dan ditunjukkan kepada khalayak ramai. Karena, pada akhirnya kecewa dan penyesalan dirasakan sendiri dan orang-orang lain menjadi penontonnya.
Untung saja, kalau mendoakan untuk harapan lebih baik dari kegagalan dari sekian harapan. Namun, lebih menyakitkan meskipun tanpa diketahui, ketika mereka hanya tertawa tanpa tanda bersalah. Antisipasi terbaik untuk hal seperti ini, patut direnungkan guna menetapkan niat terbaik sebelum akhirnya mengetahui kecil kemungkinan untuk tercipta. Maka, alangkah baiknya kita belajar dua hal dari Nabi Saw., yakni terkait dengan awal yang baik untuk keinginan dan tentang kebaikan seorang muslim dalam menjalani hidupnya.
"Segala sesuatu berawal dari niat," Al Hadis
Hadis ini secara tegas menyatakan bahwa semua urusan, segala keinginan, hingga harapan-harapan harus disertai dengan niat. Urusan pekerjaan akan menjadi berkah, walaupun setidaknya menjadi sah ketika berkaitan dengan ibadah mahdlah, seperti shalat, puasa dan ibadah fardlu lainnya. Ketika hendak makan, diniatkan karena ibadah diawali dengan basmalah, Insya Allah berkah dan bernilai ibadah. Akan tetapi, niat menjadi syarat sahnya suatu urusan yang berkaitan erat dengan ibadah. Baik itu berhubungan dengan ritual sebelum ibadah, seperti wudlu dan sebagainya, maupun urusan dalam ibadah itu sendiri.
Di sinilah kedudukan niat. Amat penting dilakukan dan terucap oleh lisan sebagai penegak berjalannya suatu pekerjaan. Di samping itu niat juga menunjukkan keseriusan dalam melakukan amalan, yang bersifat ibadah atau non ibadah. Selama itu berupa kebaikan, niat akan selalu membawa keberkahan terhadap hal tersebut. Karena, amal kebaikan yang disertai niat akan menuai pahala sepuluh kebaikan. Bahkan, niat baik pun sudah tercatat dalam satu pahala meskipun belum sempat terlaksana.
"Termasuk ciri baiknya keislaman seseorang, ialah meninggalkan urusan yang tidak ada faedah untuknya," Al Hadis
Sedangkan, hadis ini memberikan frame untuk kebaikan seorang muslim yang tergantung pada sikapnya. Ketangguhan meninggalkan sesuatu yang un-faedah baginya merupakan satu jalan untuk menentukan kedudukannya di hadapan orang lain. Rasulullah Saw. melalui hadis ini, mengajarkan kita agar lebih mawas diri dalam melakukan pekerjaan yang berhubungan dengan keseharian. Tidak mungkin asal melakukan dan meniatkan perbuatan yang baik menurut pribadinya. Karena itulah, kegiatan harian yang baik harus disertai dengan niat yang baik. Hal itu berguna, untuk menjadi ruh dalam kegiatan kebaikan yang hendak dilakukan dan memungkinkan untuk dilakukan.
Dengan demikian, setiap pekerjaan itu membutuhkan niat. Kebaikan yang terlintas dalam setiap pikiran manusia harus diikat dengan niat, yang ibarat janji setia pekerjaannya. Karena itu, kebaikan tidak boleh asal terjadi. Ada baiknya berpikir sebelum bertindak. Pikiran itu berupa niat yang baik, sedangkan praktiknya menjadi kesetiaan terhadap harapan dan hal yang pernah terucap oleh lisannya sendiri. Sehingga, pekerjaan baik jangan sampai bernilai biasa-biasa saja jika tanpa niat yang melandasinya. Selain perlu niat, amal kebaikan harus menunjukkan karakter seorang muslim yang sejatinya tidak suka melakukan hal-hal yang tanpa nilai dan un-faedah bagi dirinya.
Komentar
Posting Komentar