Oleh: Fattah Alfarhy
Seorang manusia terlahir ke dunia bukan tanpa tujuan. Kehidupan yang dihadapinya menjadi satu medan untuk dia berpikir dan berkarya. Tanpa karya nyata, manusia hanya meninggalkan nama. Dan pada akhirnya lambat laun namanya akan terbenam oleh nama-nama lain yang berhamburan. Itulah pentingnya sebuah karya untuk menunjukkan eksistensi manusia. Sebagai makhluk pemikir, dia harus membuktikan jejak kehidupannya dalam sebuah karya sebagai buahnya.
Dunia teramat luas untuk dijangkau manusia. Keluasannya mengundang rasa penasaran untuk menggali segala yang ada. Melalui panca indera yang dimilikinya, dia mencari tahu apa arti sebuah nama. Jika tanpa berpikir tak mungkin manusia mengerti apa itu materi untuk sebuah nama. Contoh mudah saja buah apel. Makan buah apel satu saja terasa ketagihan. Tak puas kalau cuma satu saja. Betapa enaknya rasa asam bercampur manis yang dibalut elok kulitnya berwarna merah atau hijau. Itulah sedikit sifat buah apel.
Atas mata yang melihat bentuk buah apel semakin jelas terekam dalam ingatan manusia. Oleh akalnya manusia jadi paham betul tentang apel. Sehingga, akan tertanam kesan mendalam dengan kebiasaan yang dilakukan. Kesan itu akan sampai pada nalar di akalnya. Dengan akal yang dimiliki manusia mencoba menggambarkan segala sesuatu yang pernah dipikirkan. Namun, semua akan hilang jika tak pernah diulang atau dilakukan kembali. Karenanya, ingatan butuh diasah agar kesan itu semakin dalam tertancap di hati manusia.
Setiap orang yang berpikir akan lebih mudah mendapatkan kesan hasil kerja panca inderanya. Dengan mata manusia memperoleh gambaran. Dengan telinga dia menjadi paham. Dan dengan akal dia memutuskan mana yang sesuai dengan nyata dalam kebenaran. Sebab, yang benar menurut akal dinilai dari kebiasaan. Benar karena biasa dilihat atau mungkin benar karena sering didengar. Sehingga, akan menjadi gagasan atas kesan penglihatan dan pendengarannya.
Setiap manusia memiliki kenangan. Masa lalu dalam manis dan pahitnya tertanam kuat dalam ingatannya. Barangkali ada yang mengabadikannya dalam sebuah buku diary lusuh saat tahun 90-an. Kenangan apa pun yang tertulis rapi di dalamnya menjelma sebuah gunung es dan suatu saat akan mencair dalam gagasan. Tulisan itu seakan-akan menjadi kamus kehidupan bagi masa depannya.
Saat orang mau menulis, itu menunjukkan kepedulian bagi dirinya sendiri. Kalau pun tidak bermanfaat untuk orang lain, tulisan itu akan menegur dirinya sebagai pengingat. Kebenaran telah terjadi pada masa lalunya. Orang akan sadar bahwa jatuh pada lubang yang sama adalah sebuah kebodohan. Betapa luasnya ruang tulisan yang sanggup menampung kesan dan gagasan. Tanpa keduanya seseorang akan sulit menemukan ide kehidupannya. Gagasan itulah yang membangun jembatan untuk menuju kesuksesan hidup manusia.
Kesan dan gagasan merupakan bagian erat dari ilmu. Tulisan yang tersusun atas keduanya membentuk informasi. Semua orang berhak membacanya. Dengan sepasang mata yang dimiliki, dia menangkap rangkaian kata demi kata dari penulis. Dari seorang ilmuwan, dia mendengar ilmu walau hanya suara berbisik. Ilmu akan tetap mendorong manusia untuk berpikir.
Tangan itulah yang seharusnya bekerja mengikat pelajaran ilmu yang didapat. Sehingga, ilmu bukan hanya tertancap dalam dada yang suatu saat bisa lupa. Namun, adanya tulisan tangan menjadikan ilmu terikat dalam sebuah kitab. Dan suatu saat akan mudah dicari saat diperlukan untuk menggali gagasan. Berkat tulisan itulah, manusia akan selalu menemukan ilmu. Bahkan ilmu dari para pendahulu yang sangat mahir berpikir dan menuliskannya. Barangkali itulah arti sebuah nama. Tentang "apel" yang ditulis antara kesan dan gagasan.
Jepara, 24 September 2017
Komentar
Posting Komentar