Oleh: Fattah Alfarhy
Sudah jamak diketahui, Islam memiliki penganut terbesar di
Indonesia. Meskipun mengalami penurunan dalam beberapa tahun terakhir, tetap
saja Umat Muslim tetap menjadi mayoritas. Sebanyak apapun jumlahnya, secara
obyektif kita perlu kaji dari segi kualitasnya.
Pada faktanya, umat muslim memang selalu terbesar di
Indonesia. Dunia juga sudah tahu akan hal itu. Namun, perlu dicermati lebih
lanjut jika jumlah besar itu masih terbagi-bagi ke dalam beberapa tipe. Mungkin
seringkali didengarkan pernyataan orang tentang Islam KTP. Merujuk pada satu
istilah ini, sudah ditemukan satu tipe umat Islam di tengah-tengah masyarakat.
Islam KTP dikenal sebagai sebutan bagi penganut Islam yang
hanya dalam status kewarganegaraan. Dalam agamanya, berstatus agama Islam yang
tercetak di KTP yang bersangkutan. Lain ceritanya, jika dibilang dalam urusan
keseharian. Antara shalat atau belum mengamalkan agamanya tidak menjadi sebuah
pertanyaan mendasar. Yang terpenting agamanya jelas seperti tercetak di KTP.
Wajar bila banyak orang mengungkapkan hal tersebut, sebagai Islam KTP.
Tentang umat Islam, tidak akan berhenti pada julukan Islam
KTP saja. Masalah yang sangat kompleks muncul secara bertubi-tubi melemahkan
karakter umat Islam. Gara-gara ada pengeboman, pelakunya muslim langsung
berimbas jika Islam agama teroris. Belum lagi masalah terakhir tentang
tagar-tagar yang berjubelan di media sosial. Mulai tentang ganti presiden,
mendukung ulama, dan bela ulama semua tentu tak lepas dari keberadaan umat
Islam. Semuanya bermunculan dalam rangka membela kubu politik yang dibela atau
ditolaknya. Jika ini hanya dikaitkan dengan sebuah kampanye, tentu tidak
nyambung. Sebab, masa kampanye belum waktunya. Tapi, jika disebut sebagai
pelanggaran kode etik pasti ada yang berkilah kalau Bawaslu saja diam kenapa
mereka mesti banyak komentar.
Lagi-lagi, semua ini dianggap sebuah kebebasan berekspresi
yang bisa dilakukan kapan dan di mana saja. Pembelaan dalam rangka pembenaran
diri pun terjadi. Oleh siapapun dan dengan status apapun mereka akan merasa
benar dengan apa yang dilakukannya. Karena, semuanya berdalih atas nama HAM
yang dikerucutkan sebagai kebebasan berpendapat. Dan sekali lagi, mereka sama
sekali tidak memikirkan apakah yang dilakukan itu sebagai pelanggaran dalam
agamanya atau bukan. Kalau disebut pelecehan agama, takutnya kurang pas.
Karena, belum ada ceritanya seorang muslim melecehkan agamanya dikasuskan.
Meskipun aslinya banyak, tapi tidak semuanya bisa dikatakan begitu.
Beginilah, hakikat manusia yang selalu ingin mencari celah
aturan untuk dilanggar. Kalau kurang pas dengan kata pelanggaran, ya dengan
bahasa terpaksa dibolehkan. Jadi ketahuan aslinya, siapa yang betul-betul Islam
betulan dan siapa yang cuma numpang Islam di KTPnya. Jika tidak mau terima
dengan kenyataan ini, mari sama-sama mengkajinya.
Foto: google.com |
Katakanlah, umat muslim di Indonesia sekarang adalah 85%
dari populasi penduduk itu baru totalnya. Jika diperinci satu per satu tentu
akan ditemukan betapa lemahnya umat terbesar ini. Wajar jika muncul pertanyaan,
dari sekian persen umat Islam berapa persen yang bisa dikatakan sebagai
penganut yang taat? Penganut yang taat itu apa cukup dengan melaksanakan shalat
saja. Perlu apa tidak ditambah dengan banyak sedekah, selalu baca al-Qur'an
dengan baik dan benar, atau harus sudah genap menjalankan 5 rukun Islam. Kalau
yang baca al-Qur'annya belum baik dan benar menurut hukum tajwid, apa Islamnya
sudah cukup. Kalau tajwid saja tidak menguasai, bagaimana standar kebenaran dan
kefasihan al-Fatihahnya yang selalu wajib dibaca ketika shalat. Terus, yang
belum puasa Ramadhan yang tidak pandai mengaji al-Qur'an pantas apa tidak
mendapat status Islam di KTPnya?
Akhirnya, banyak sekali muncul pertanyaan yang belum tentu
bisa dijawab semuanya. Sebaiknya lupakan pertanyaan-pertanyaan tersebut. Sebab,
tanpa dijawab juga mayoritas akan paham dengan jawabannya. Artinya, Islam itu
seringkali dijadikan akal-akalan untuk membolehkan langkah sempit untuk meraih
pembenaran. Masih kategori pembenaran, belum bisa diartikan sebagai kebenaran.
Pembenaran itu terkesan ada upaya untuk membenarkan dilakukan oleh pelaku itu
sendiri. Lain jika itu kebenaran. Tanpa dilakukan upaya untuk membenarkan atau
menampakkan sisi positifnya akan terlihat jelas bahwa itu memang benar.
Contoh-contoh kecil akan mudah ditemui dalam fenomena
masyarakat secara luas. Misalnya, ada sebuah hadis tentang keutamaan orang yang
memberi makan orang berbuka puasa Ramadhan yang sering dijadikan bahan candaan.
Takutnya sampai dijadikan dalih kebenaran, tentu bisa berbahaya. Kurang lebih
redaksinya demikian, "Seorang yang memberi makan orang berbuka puasa akan
mendapatkan pahala sebanyak orang yang berpuasa tersebut." Bagi orang kaya
yang belum mau berpuasa, bisa saja menjadikan itu sebagai dalil untuk
membenarkan.
Akan muncul pertanyaan, "Kalau memberi makan orang
berbuka puasa saja berpahala, kenapa mesti berpuasa?" COba bayangkan,
andai saja banyak kita ketemu orang model begini, kira-kira langkah apa yang
mesti dilakukan. Setidaknya, untuk memberikan pemahaman yang pas tidak lebih
untuk mereka. Inilah baru satu fenomena yang tidak jarang untuk ditemui di
sekitar kita. Tentu saja, pemahaman seperti ini bisa dijadikan dalih yang
sepertinya benar untuk pelanggaran terhadap agama. Begitu memang cara untuk
mencari celah kebolehan melanggar aturan. Sekalipun itu aturan agama, tidak
menjadi hal yang ditakuti lagi bagi orang-orang yang hanya ber-Islam KTP.
Kalau pun shalat sudah ditegakkan, belum tentu kesunnahan
dijalankan. Seperti shalat sunnah rawatib, bersedekah dan membaca al-Qur'an.
Rasanya akan sangat jarang orang yang bisa melakukan kesemuanya itu. Setidaknya
jika sudah rajin shalat beserta sunnah rawatibnya, bersedekah dan membaca
al-Qur'an, sudahkah bisa dikatakan sempurna? Tunggu dulu. Tidak semudah itu
memberi cap sempurna terhadap penganut agama yang sudah taat seperti itu.
Sebab, tanpa ilmu agama hanya diamalkan seperti orang buta. Tanpa petunjuk dan
tatacara yang benar orang tersebut hanya berjalan ikuti waktu berjalan. Tak
tahunya, akan berakhir mati juga.
Perlu diingat pentingnya ilmu untuk mendasari ibadah. Kalau
tidak punya ilmu jangan merasa sempurna dalam beribadah. Namun, bukan berarti
yang berilmu ibadahnya juga sempurna. Hal yang paling penting adalah belajar
harus dilakukan sepanjang hidupnya. Baik untuk urusan ibadah mahdlah maupun
ghairu mahdlah. Semua dibutuhkan demi tujuan untuk menyempurnakan ibadah yang
sehari-hari dilakukan. Ibaratnya, kalau tidak mau belajar nanti jadinya akan
menduduki Islam KTP. Begitulah artinya, Islam yang hanya dicetak dalam KTP
saja. Untuk ibadah dan amaliah keagamaannya entahlah, asal jalan yang penting
gugur kewajiban.
Dari penjelasan di atas, sudah mulai nampak tentang
akal-akalan yang sering dilakukan oleh oknum-oknum yang ingin mencari kemudahan
dalam beragama. Bukan hanya meremehkan sisi kesakralan yang terdapat dalam
agama itu sendiri, tapi lebih jauh bisa menganggap mudah hukum yang sudah jelas
kewajibannya dijadikan lebih ringan baginya. Itu tak ubahnya, pengetahuan yang
dijadikan pembodohan saja. Sayangnya, ada yang lebih parah karena kebodohannya
ia semakin menjadi-jadi dalam mengakali kemudahan agamanya.
Dan pada akhirnya, dia hanya menganggap agama sebagai status
penting di KTP, tanpa memikirkan apa yang seharusnya dilakukan untuk pengamalan
agamanya sehari-hari. Padahal, kewajiban seorang pemeluk agama harus menghayati
dan mengamalkannya sesuai kebebasan yang dijamin oleh negara menurut
undang-undang yang berlaku. Sehingga, agama yang dianut bukan sekadar untuk
pengakuan diri ketika mengisi administrasi, tetapi juga harus menjadi pedoman
sepanjang hidupnya. Oleh karena itu, sebagai pemeluk agama yang taat harus juga
bersedia mentaati segala aturan yang ada. Bukan hanya sekadar pilih-pilih yang
mudah untuk diamalkan, tapi mau belajar dan tidak untuk mengakali agama itu
sendiri. []
Yogyakarta, 6 September 2018
#komunitasonedayonepost
#ODOP_6
#Day_3
Komentar
Posting Komentar