Oleh: Fattah Alfarhy
Zaman sekarang sudah beda dengan zaman baheula. Kalau dulu, orang diberi nasihat didengar. Tidak cukup sampai di situ, nasihat itu ditancapkan dalam hati. Kemudian suatu saat akan disampaikan sebagai hikmah. Karena suatu peristiwa yang terjadi atas kelalaian manusia, hikmah sering dinanti sebagai penawarnya. Seseorang yang tengah dirudung susah dalam hatinya selalu merindukan hikmah yang menyejukkan. Hikmah itu bisa berupa nasihat dan berita kebenaran.
Keadaan lain merubah kebiasaan orang dahulu. Anak-anak zaman sekarang lebih gampang ingat iklan di TV daripada nasihat orang tuanya. Generasi ABG pun sama, lebih peduli dengan status teman daripada pesan orang tua di pagi hari. Sudah seringkali dibilang jika sekolah jangan pernah suka bolos. Tetapi, faktanya tetap saja surat panggilan guru BP datang meminta orang tua ke sekolah. Itu semua lantaran kenakalan anaknya yang sulit dikendalikan.
Istilah zaman dahulu, orang bilang, "Dinasihati masuk telinga kanan turun ke hati." Situasi bertolak belakang berputar 180 derajat bahwa anak sekarang itu, "Jika dinasihati masuk telinga kanan, keluar telinga kiri. Jadi lupa deh semuanya." Atau bahkan ada yang lebih parah kalau sampai, "Dibilang baik-baik sama orang tua masuk telinga kanan, keluar juga telinga kanan." Jelas bahwa sifat anak zaman sekarang kian parah akhlaknya. Dia tidak lagi mau dengar kata orang tua. Dibilang apa saja mental kayak bola pimpong. Baginya curhat kepada teman lebih nyaman daripada kepada orang tua.
Padahal, kalau saja anak-anak mau sadar nasihat itu sangat penting baginya. Kata orang tua tak sekadar mulut terbuka nyap-nyap tanpa makna. Kedua orang tua pernah menjadi kecil dan muda, sedangkan anak belum pernah mengalami masa orang tua. Maka, sudah sewajarnya nasihat itu diberikan dalam rangka berbagi pengalaman berharga. Kalau itu kebaikan, tentu orang tua ingin anaknya ikut jalannya. Lain bila keburukan, pasti orang tua melarang anak dengan seribu alasan.
Nasihat itu umumnya datang dalam bentuk kebenaran. Baik secara akal maupun tuntunan bisa diterima. Itu sebabnya jangan sekali-kali ajarkan kebohongan kepada anak. Sekali diajarkan kebohongan, satu dua kali dan seterusnya akan menjadikan keras hatinya. Baik itu si penyampai kebohongan maupun si penerimanya. Itulah hikmah adanya perintah klarifikasi berita sebelum disampaikan. (Lihat Al-Hujurat: 6). Jika kebohongan itu tetap dilakukan dalam kesadaran akan berakibat fatal bagi siapa saja.
Kebohongan tersebut dapat berupa berita hoax yang marak di jagad sosial media. Pada bentuk lain, bohong itu bisa berupa upaya penyimpangan tuntunan yang sudah jelas diatur dalam syariat. Para pelakunya dinilai sebagai fasik dan tak tahu diri. Kebenaran yang didasarkan ilmu pengetahuan itu telah disalahgunakan. Dia berjanji, tapi membohongi. Amanah yang dititipkan kepadanya, dikhianati. Seakan-akan merasa pura-pura bodoh dalam kepandaian. Orang semacam ini diberi ganjaran berupa hati yang keras bagai batu. Walau hanya sedikit, air hikmah tidak dapat mengalir membasahi permukaannya.
Oleh karena itu, nasihat itu harus disampaikan sesuai kebenaran yang melekat di dalamnya. Bahasa hikmah itu akan tersusun dari nasihat-nasihat para guru dan orang tua. Seorang guru akan menyampaikan segala kebenaran yang ada kepada muridnya. Semua berdasarkan ilmu yang dikuasai. Begitu pula orang tua akan memberi nasihat berupa pengalaman penuh hikmah di masa lalunya. Kebenaran yang bersumber pada pengalamannya patut dijadikan pelajaran berharga bagai masa depan. Itu sebabnya, menebar hikmah kepada siapa saja akan berujung berkah dalam setiap kaki melangkah.
#KomunitasODOP
#ODOP_6
Komentar
Posting Komentar