Oleh: Fattah Alfarhy
Tidak menjadi heran, dan bukan aneh bagi kita semua bahwa tiap orang bersekolah pasti bisa menulis. Sejak dia TK sudah diajarkan bagaimana menulis huruf-huruf abjad. Masuk SD belajar menulis dan membaca dengan lancar. Usia SMP menjadikan tulisan lebih kaya dan kreatif. Ada puisi ditulis untuk ungkapan perasaan dan ada pula menulis diary walau hanya untuk sekedar menjadi pengisi waktu luang. Ketika di SMA tiba-tiba semangat menulis itu menurun. Bisa saja disebabkan, karena banyaknya materi pelajaran yang tak cukup waktu jika ditulis semuanya. Jalan pintas yang diambil adalah foto copy tiap pelajaran. Sehingga, mencatat sangat kurang dilakukan pelajar SMA. Syukur-syukur masih mau buat catatan ringkasan pelajaran.
Masa remaja memang masa paling indah. Keinginan untuk selalu tampil di depan mulai dominan. Apalagi setelah aktif di berbagai organisasi menjadikannya semakin semangat untuk berlatih tampil di depan publik. Ini menjadi satu alasan kenapa menulis itu tidak begitu penting di usia mereka. Bisa saja yang dipikirkan hanya praktik yang lebih praktis. Atau bisa-bisanya dikatakan kalau menulis itu hanya buang-buang waktu saja. Maka, keindahan itu tidak lagi ada pada tulisan dan kata-kata melainkan penampilan yang sempurna di mata publik.
Menulis menjadi satu kegiatan yang paling sulit. Khususnya para remaja aktifis yang tiada hari tanpa organisasi. Membuat catatan harian pribadi saja tidak sempat, apalagi menulis tentang ilmu pengetahuan yang begitu penting baginya sendiri. Rasa sulit itu tertanam yang selalu mewarnai pikiran. Keinginan untuk mencoba tidak nampak lagi. Hanya kata-kata yang keluar dari mulut mereka sebagai wujud pesimisme bahwa mereka tidak mampu.
Kebiasaan tidak menulis ini menjadi satu karakter yang melekat di kalangan remaja. Mereka tidak lagi berpikir pentingnya menulis. Yang ada baginya adalah nilai yang akan mengantarkannya sebagai lulusan terbaik di sekolahnya. Dengan bermodal foto copy buku-buku dan tepat waktu mengerjakan tugas semua bisa teratasi. Bahkan, terkadang tulisan ringkasan pelajaran saja tidak dapat diketemukan lagi di tahun berikutnya. Dari itu bisa dikatakan betapa mahalnya kebiasaan menulis di kalangan remaja.
Di bangku kuliah, mulai akrab dengan yang namanya makalah. Deadline dan topik-topik kontemporer terdengar asing bagi mahasiswa baru. Namun, tak menyurutkan langkah untuk selalu berburu bahan paling gress untuk menyusun kajiannya. Di saat makalah menjadi teman setia, sudah seharusnya kebiasaan menulis menjadi akrab dengan keseharian. Makalah membutuhkan sumber yang valid dan bisa dipertanggungjawabkan. Sehingga, saat didebat atau dipertanyakan berani mempertahankan. Lagi-lagi semua itu karena dokumentasi dan tulisan yang jelas. Kalau tidak menulis, bagaimana itu bisa dilakukan.
Menulis makalah terasa sulit bagi mereka mahasiswa pemula. Situasi itu menjadi hilang seiring kebiasaannya menjajaki dan mencoba makalah-makalah berikutnya. Namun, jika tidak pernah mau menulis satu makalah sekali pun akan terasa sulit dan menjadi beban. Oleh karenanya, menulis selalu terasa sulit bagi mahasiswa yang selalu enggan untuk memulai tulisannya. Alih-alih mau belajar, dia mengambil jalan pintas dengan copy paste dari internet sebagai sumber utamanya. Itu semakin memperburuk karya tulisnya di saat dia tidak mampu memilih dan memilah dari mana sumber tulisannya.
Sejak kecil belajar menulis rasanya semangat. Bertambah usia dan pindah sekolah semakin berwarna. Semangat menulis kembali menurun akibat pergaulan dan organisasi. Keadaan ini diperparah dengan kemiskinan bacaan di lingkungannya, baik di sekolah maupun rumahnya. Gadget menjadi teman setia dalam dunia sosial media. Padahal, pena dan kertas selalu kosong menanti sentuhan tangan magisnya. Keyboard yang ada di depan mata sehari-hari tetap sulit terasa untuk mengalirkan kata-kata. Seharusnya mudah, tapi sulit untuk memulai menuliskannya.
Oleh karenanya, menulis selalu sulit bagi mereka yang enggan mulai. Menulis akan menjadi musuh utama. Alasan waktu dan rasa malas menjadi momok yang selalu menyingkirkan niat untuk mulai menulis. Usia semakin bertambah, tapi tak kunjung mulai menulis yang termudah. Akhirnya, segudang kata itu sekedar angan-angan yang menguap berganti masa. Waktu selalu pergi meninggalkannya tanpa sesuatu yang berharga. Jika tidak mau mulai dari sekarang, selamanya akan terasa sulit tanpa rasa berani untuk mencoba. Kesulitan itu semakin tertanam saat dia telah sibuk dengan pekerjaan lain selain pelajar.
Jika bukan kita, siapa lagi yang akan memulainya. Tata niat dan singkirkan penghalangnya. Mulai dengan berdamai dengan diri sendiri. Mengalah untuk kebiasaan yang lebih baik. Karena menulis itu sulit, dan akan tetap sulit bagi mereka yang tidak pernah memulainya. Karena alasan apapun dan kesempatan yang luas akan tetap terasa sulit. Marilah kita mencoba dengan menulis yang termudah. Apa yang kita kuasai cobalah untuk ditulis dalam bahasa sederhana. Entah nyambung atau tidak, terpenting sudah memulainya. Ketika kebiasaan itu terhenti lagi, ingatlah permulaan yang pernah kita coba. Mari menulis, mari bersuka ria dengan tulisan-tulisan indah penuh warna.[]
"Karena menulis itu sesulit apa yang kita pikirkan, dan menjadi ringan seperti apa yang kita coba tulis pertama kalinya."
#KomunitasODOP
#ODOP_6
Komentar
Posting Komentar